Keadaan Psikis Saat Kuliah Online Bagi Mahasiswa Selama Pandemi COVID-19

Oleh:

Reeza Juwita

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD), Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro

Email: Eza.juwita06@gmail.com

ABSTRAK

Jiwa yang sehat juga sering disamakan dengan mental yang sehat. Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor (penyebab terjadinya stress). Orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Dengan  pembelajaran kuliah online yang dilakukan selama ditetapkannya COVID-19 menjadi pandemic di Indonesia ini beberapa mahasiswa sempat mengalami tekanan-tekanan yang menggangu psikisnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keadaan psikis mahasiswa saat menjalani kuliah online. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi analisis percakapan WhatsApp Personal Chat (WA PC), terhadap mahasiswa sekitar Way Jepara , sebanyak 4 orang dengan Program Studi dan Kampus yang berbeda-beda. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa mahasiswa lebih memilih perkuliahan tatap muka dibanding kuliah daring.

Kata kunci: Psikis, Kuliah Online, Pandemi COVID-19

PENDAHULUAN

Sudah hampir genap 6 bulan lamanya, masyarakat Indonesia bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pun dengan semua elemen garda terdepan, bertarung dengan pandemi yang sampai saat ini belum tahu kapan akan meninggalkan Negara kepulauan ini. Dalam web Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 tercatat bahwa sebanyak 137.468 orang terkonfirmasi positif COVID-19 per tanggal 15 Agustus 2020. Bukan hal yang tidak mungkin untuk mengakhiri semua peperangan yang memporakporandakan seluruh sektor kepemerintahan Negara ini, berperang dengan hal yang tidak terlihat namun menyakitkan, membuat setiap individu mempunyai peran penting untuk saling bekerja sama dan menguatkan.

Namun sebenarnya apa COVID-19 itu? Sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. Sebelumnya penyakit dan virus baru ini tidak dikenal, namun setelah wabah Wuhan di Tiongkok yang terjadi pada bulan Desember 2019 lalu.[1] COVID-19 memang menjadi trending topic pandemi yang merata diseluruh dunia. Karena sejak tanggal 9 Maret 2020 WHO (World Health Organization atau Badan Kesehatan Dunia) secara resmi mendekelarasikan bahwa virus corona menjadi pandemic, artinya virus ini telah menyebar secara luas. Istilah pandemi memang terkesan menakutkan, namun bukan berarti menakutkan dalam tingkat keganasan virus itu, tetapi lebih pada penyebarannya yang meluas.[2]

Dengan hal itu, banyak cara yang telah ditetapkan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran virus tersebut. Segala macam upaya sudah dikerahkan, dari mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga ditetapkannya New Normal atau hidup dengan kebiasaan baru. New Normal adalah langkah yang dijalankan percepatan penanganan COVID-19 dengan mempertimbangkan kesiapan daerah dan hasil riset epidemiologis di wilayah terkait dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Dikutip dari detiknews, ahli bahasa Prof. Dr. Rahayu Surtiati Hidayat dari Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan bahwa “Badan bahasa sudah memberikan istilah Indonesianya yaitu Kenormalan Baru. Kata Normal sebetulnya dalam bahasa Inggris sudah dijadikan nomina makanya jadi New Normal. Badan bahasa kemudian membuat padanannya menjadi Kenormalan. Karena kalau normal itu adjektiva kata sifat, jadi Kenormalan Baru”[3]

New Normal pun diberlakukan hanya pada zona yang siap menjalaninya. Karena kondisi tersebut dipilih demi memutar kembali roda perekonomian, tetapi tetap menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat. Zonasi resiko terbagi menjadi 5 zona, yaitu zona merah sebagai zona yang mempunyai risiko tinggi, zona orange sebagai zona yang mempunyai risiko sedang, zona kuning sebagai zona yang mempunyai risiko rendah, zona hijau pertama sebagai zona yang tidak memilki kasus dan zona hijau kedua sebagai zona yang tidak terdampak.[4] Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, menyebutkan bahwa diperbolehkannya penerapan new normal di zona hijau itu tergantung dari kesiapan daerah masing – masing. Namun bagaimana dengan sector lain, seperti pendidikan?. Dikutip dari web liputan6.com bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menekankan bahwa sekolah dan madrasah yang berasrama tetap dilarang buka meski berada di zona hijau virus corona, sedangkan untuk madrasah yang tidak berasrama dan berada di zona hijau dapat kembali mengikuti kebijakan sekolah umum.

Dengan adanya hal itu membuat pemerintah menetapkan Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) No. 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Pada Pendidikan Tinggi.[5] Serta pelaksanaan BDR (Belajar Dari Rumah) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Edaran No. 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19). Dimana tercantum pada Bab I poin C berisi tentang Metode dan Media Pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR).[6] BDR dilaksanakan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dibagi ke dalam 2 (dua) pendekatan yaitu:

  1. Pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring)
  2. Pembelajaran jarak jauh luar jaringan (luring)

Kedua pendekatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana. Sebagaimana apabila pembelajaran secara daring dapat menggunakan gadget maupun portal, sedangkan apabila pembelajaran secara luring dapat dilaksanakan melalui televisi (melalui program BDR TVRI), radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, bahan ajar cetak, serta alat peraga media belajar dari benda dan lingkungan sekitar. Namun itu semua masih dalam teknik pembelajaran yang akan dilaksanakan, bagaimana kendala dari hal-hal tersebut, apalagi pembelajaran tersebut sudah dilaksanakan selama 4 (empat) bulan lamanya.

Dikutip dari Web covid19.go.id, tentang Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, bahwa banyak kendala yang dihadapi guru, orang tua, dan anak selama PJJ dilaksanakan. Seperti siswa kesulitan konsentrasi belajar dirumah dan mengeluhkan beratnya penugasan soal dari guru, serta peningkatan rasa stress dan jenuh akibat isolasi berkelanjutan berpotensi menimbulkan rasa cemas dan depresi bagi anak, hal itu dapat mempengaruhi kondisi psikisnya. Ditambah dengan akses ke sumber belajar baik karena masalah jangkauan listrik atau internet, maupun dana untuk aksesnya.[7]

Definisi psikis sendiri bisa disebit juga dengan jiwa. Jiwa memiliki arti yang samgat abstrak, sulit bagi manusia untuk memahami apa itu jiwa. Al-Quran menegaskan bahwa jiwa (roh) hanyalah urusan Allah, manusia diberi pengetahuam tentang ha; itu tetapi hanya sedikit. Tidak ada kata sepakat tentang hakekat jiwa terlihat dari pandangan para ahli yang sangat beragam. Filsuf Plato berpandangan bahwa jiw adalah ide, sedangkan Hipocrates mengemukakan jiwa sama dengan karakter dan Aristoteles mengatakan jiwa adalah fungsi mengingat. Ki Hajar Dewantara memberikan pandangan tentang jiwa adalah kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia, manusia dapat berfikir, berperasaan, dan berkehendak.[8]

Jiwa yang sehat juga sering disamakan dengan mental yang sehat. Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor (penyebab terjadinya stress). Orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang dating dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa kesehatan mental adalah kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang dating dari lingkungan. Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena factor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, serta intesitsas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain pun berbeda. Sebagaimana perbedaan para peserta didik dalam menjalani Pembelajaran daring ataupun luring.[9]

Namun tidak hanya siswa Sekolah Dasar dan Menengah saja yang merasakan Pembelajaran Daring namun para Mahasiswa pun mengeluhkan kendala serta dampak yang dirasakan selama Daring yang harus dilaksanakan selama 4 bulan yang lalu. Dalam hal ini, penulis mewawancara beberapa mahasiswa sekitar daerah Way Jepara yang pulang ke rumahnya masing-masing karena pandemi ini serta merasakan kuliah daring selama 4 bulan yang lalu. Maka tujuan penulisan artikel ini untuk mengetahui keadaan psikososial mahasiswa dalam menjalani kuliah daring selama pandemi COVID-19 ini (Studi terhadap mahasiswa yang berada di lingkungan tempat tinggal penulis).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Di dalam penelitian ini menyajikan data berupa isi dari percakapan dalam WhatsApp Personal Chat (WA PC) serta hasil interview per personal. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang melaksanakan kuliah daring yang bertempat tinggal di daerah Way Jepara serta berkuliah di daerah Lampung. Sedangkan sampel penelitian terdiri dari beberapa cuplikan percakapan WhatsApp Personal Chat serta hasil interview mahasiswa. Metode pengumpulan data penelitian menggunakan metode dokumentasi dan interview. Sedangkan teknik analisis data penelitian ini menggunakan teknik deskriptif.

Teknik analisis data dilakukan dengan cara yaitu, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Teknik analisis yang dilakukan yaitu mengambil dokumentasi berupa screenshoot percakapan di WhatsApp Personal Chat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ditetapkannya virus corona menjadi pandemi oleh WHO memang karena  virus ini telah menyebar di hampir seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia, tidak terkecuali Lampung. Gencar tagar #DiRumahAja, memang tidak berhenti walaupun new normal sudah diperbolehkan di beberapa titik Lampung, namun hal tersebut tetap dalam keputusan pemerintah daerah telah siap atau belum untuk melaksanakan new normal tersebut.

Seperti halnya di beberapa Universitas di Lampung, karena masih pada lingkup pandemic ini, beberapa kampus mengambil keputusan bahwa kuliah semester genap yang lalu dilakukan secara daring. Mahasiswa diharapkan dapat mengerjakan tugas, mengulang pelajaran yang telah diberikan, membaca buku dirumah dan mengirimkan tugas yang telah diberikan oleh dosen via media online, seperti WhatsApp Group, E-mail, Zoom, Goggle Classroom, tetapi kenyataan di lapangan berbeda dengan yang diharapkan.

Berbagai persoalan dialami mahasiswa dalam mengikuti kuliah daring, yang sekaligus menggambarkan bagaimana kondisi psikososial mereka. Pada umumnya mahasiswa mengalami psikososial yang terganggu. Hasil chattingan dengan beberapa mahasiswa muncul ungkapan, “memilih kuliah tatap muka,” “lebih baik tatap muka”, “kuliah online kurang efektif”. Semua ungkapan itu menyatakan bahwa mahasiswa lebih menyukai kuliah tatap muka.

Beberapa alasan yang dikemukakan mahasiswa adalah: “awalnya terima untuk kuliah online, karena kepikiranya kuliah online itu enak, tidak capek bolak balik kampus, tidak boros uang jajan, tapi lama kelamaan jadi tidak enak, jarang ketemu kawan, diskusi susah, dipikir bisa hemat malah boros buat beli kuota”, “kuliah jadi tidak efektif, karena saat jaringan tidak bersahabat dari mahasiswa maupun dosennya jadi nantinya gagal paham”, “belom ini kita lagi kuliah dikira orang tua main hape terus”, “pusing pas dosen cuman ngasih waktu ujian lisan satu menit, kan belom vn (voice note) belom juga loading ngirimnya”. Banyak hal yang menyebabkan mahasiswa kurang bersahabat dengan kuliah online.

Hal lain yang membuat mahasiswa tidak bersahabat antara psikis dengan sosialnya, yaitu: Ds mengemukakan “awal-awal kuliah online itu pas lagi stress-stres nya ngerjain tugas, mama bilang maen hape terus, belom lagi adik rewel gitu, jadi kaya butuh tempat hening, yaa walau lama-kelamaan ngerti tapi diawal-awal gitu” di lain room WAR mengemukakan “untuk kuliah daring sedikit tertekan karena tiap saat kita harus online, mantengin hape terus, belum bagi waktu karena di rumah jadi harus bantu orang tua untuk bisa beli kuota tambahan”.

Jadi dari chatingan dengan mahasiswa yang telah di interview tersebut mendapatkan beberapa kendala yaitu : 1. Kurang bersahabatnya akses jaringan yang membuat terkadang dengan dosen menjadi gagal paham; 2. Kurangnya pemahaman materi yang diberikan dari dosen; 3. Keadaan rumah yang kurang mendukung saat kuliah daring berlangsung; 4. Kecemasan yang berlebihan terutama ketika keterlambatan pengumpulan tugas, dan 5. Stres ketika kuliah yang seharusnya praktikum namun praktiknya dengan dunia maya.

Berdasarkan hasil analisis percakapan WA PC (WhatsApp Personal Chat) diperoleh hasil keadaan psikis ketika kuliah daring dengan memanfaatkan pembelajaran online. Mahasiswa kurang berinteraksi dengan teman-temannya selama kuliah daring, tidak focus karena kondisi rumah dan tidak paham dengan materi yang diberikan dari dosen karena terbatasnya jarak dan sinyal yang menghambat proses pembelajaran.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa mahasiswa lebih memilih kuliah offline atau tatap muka dibandingkan kuliah daring (dalam jaringan) karena ada beberapa hambatan serta keadaan psikis mahasiswa diantaranya : 1. Tidak bisa memahami dari materi atau tugas yang diberikan; 2. Terkendala dengan jaringan; 3. Situasi rumah yang kurang mendukung; 4. Susah berdiskusi dengan teman-teman, dan 6. Kuliah online tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid. “Agama Dan Kesehatan Mental Dalam Prespektif Psikologi Agama.” Jurnal Kesehatan Tadulako 3, no. 1 (n.d.): 1–84.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. “Peta Zonasi Risiko.” Peta Risiko, n.d. https://covid19.go.id/peta-risiko.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan hubungan yang dinamis antara factor psikis dan social, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain COVID-19. “Apa Yang Dimaksud Pandemi?” Tanya Jawab, n.d. https://covid19.go.id/tanya-jawab?search=Apa%20yang%20dimaksud%20dengan%20pandemi?

———. “Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran Di Masa Pandemi COVID-19,” Agustus 2020. https://covid19.go.id/edukasi/guru-dan-siswa/penyesuaian-kebijakan-pembelajaran-di-masa-pandemi-covid-19.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Surat Edaran No 15 Tahun 2020, Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) § (2020).

Lilik Sriyanti. Psikologi Belajar. Salatiga: STAIN Salatiga, 2011.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Perarturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 24 Tahun 2012, Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Pendidikan Tinggi § (2012). https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxtbnVydWRpbmVsZmFxaWh8Z3g6NDQ2MTdkZmI2NmMyYzFiZg.

Rosmha Widiyani. “Tentang New Normal Di Indonesia: Arti, Fakta Dan Kesiapan Daerah.” DetikNews. Mei 2020. https://news.detik.com/berita/d-5034719/tentang-new-normal-di-indonesia-arti-fakta-dan-kesiapan-daerah.

World Health Organization. “Pertanyaan Dan Jawaban Terkait Coronavirus.” Apa Itu COVID-19, n.d. https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-for-public.


[1] World Health Organization, “Pertanyaan Dan Jawaban Terkait Coronavirus.”

[2] Gugus Tugas Percepatan Penanganan hubungan yang dinamis antara factor psikis dan social, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain COVID-19, “Apa Yang Dimaksud Pandemi?”

[3] Rosmha Widiyani, “Tentang New Normal Di Indonesia: Arti, Fakta Dan Kesiapan Daerah.”

[4] Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, “Peta Zonasi Risiko.”

[5] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Perarturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 24 Tahun 2012.

[6] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Surat Edaran No 15 Tahun 2020.

[7] Gugus Tugas Percepatan Penanganan hubungan yang dinamis antara factor psikis dan social, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain COVID-19, “Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran Di Masa Pandemi COVID-19.”

[8] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar, 2.

[9] Abdul Hamid, “Agama Dan Kesehatan Mental Dalam Prespektif Psikologi Agama,” 3.

file word dapat diunduh di https://drive.google.com/file/d/159zbXpsfLNaWsAgUE8gA1-HqrqJB_0cM/view?usp=sharing

Analisis Film Miracle Worker dalam Komunikasi Konseling

Nama : Reeza Juwita

Npm : 1703020024

Jurusan : Bimbingan Penyuluhan Islam

Miracle Worker sebuah film yang mengisahkan seorang gadis belia yang cantik dan cerdas, Hellen namanya. Anak tersebut merupakan anak berkebutuhan khusus, ia mengalami tuna netra dan tuna rungu sehingga keluarganya tidak dapat memahami apa yang diinginkan gadis tersebut. Apapun yang diminta atau yang dilakukan gadis tersebut selalu dituruti oleh keluarganya. Dari ia yang melakukan hal baik ataupun melakukan kesalahan, ia selalu diberi reward berupa “permen”.  Hingga suatu hari terjadi perdebatan antara kedua orang tua Hellen yang akan memindahkan Hellen ke Rumah Sakit Jiwa, namun Ibu Hellen tidak menyetujuinya karena menurutnya Hellen adalah gadis yang cerdas yang mempunyai kelebihan tersendiri. Hingga Bibi Hellen mengusulkan bahwa akan mendatangkan seorang pengasuh terpercaya dari kota lain.

Suatu hari pengasuh tersebut datang ke rumah Hellen, Sullvian Annie namanya. Seorang perempuan yang sangat percaya diri dapat mengajarkan “bahasa” untuk seorang anak kecil yang mengalami tuna rungu dan tuna netra. Pertama kali yang dilakukan Nona Annie adalah mengajarkan bahasa isyarat dengan mengeja sandi huruf dari tangannya Hellen lalu menggunakan media perantara benda untuk mengetahui bahwa segala benda mempunyai nama. Berkomunikasi melalui isyarat, dengan banyak keterbatasan yang dimiliki Hellen menjadi tantangan tersendiri bagi Nona Annie. Pertama kali Nona Annie mengajarkan Hellen, ia sadar bahwa Hellen adalah anak yang cerdas, ia dapat menyalin apa yang di eja Nona Annie melalui isyarat huruf tangannya.

Bukan hanya berkomunikasi bahwa setiap benda punya nama, namun Nona Annie mengajarkan Hellen tentang attitude. Bagaimana cara makan di meja makan, menggunakan sendok dan garpu, melipat kain makannya, membersihkan mulutnya dengan baik, dan meminta tanpa emosi. Hingga suatu ketika Nona Annie meminta izin untuk tinggal berdua hanya dengan Hellen untuk menghilangkan ketergantungannya terhadap keberadaan ibunya. Karena Hellen selalu diberi perlakuan “apapun yang di mau berikan dan biarkan”, padahal seorang anak harus diberi keseimbangan. Reward diberikan apabila ia melakukan hal baik dan punishment diberikan apabila ia melakukan hal buruk. Hingga akhirnya Nona Annie berhasil membina Hellen yang keras kepala menjadi anak yang baik dan mengerti apa yang sebenarnya diajarakan oleh Gurunya itu.

Ketika Batas Antara Magis dan Logis menjadi Biasa – Gangguan Kepribadian

Masih melekat dan kental “pemikiran magis” di negara dengan berbagai budaya ini, Indonesia. Terutama di pulau padat jiwa, polusi hingga keyakinan aneh yang menguasai pemikiran logis manusia hingga sekarang, Jawa. Ternyata bukan hanya di negara tercinta ini, tiga perempat negara Amerika Serikat pun masih mempercayai “pemikiran magis” yang supranatural ini. Pemikiran magis hadir di sebagian besar budaya di seluruh dunia. Ini adalah proses alami, mungkin dengan dasar biologis yang mirip dengan pengkondisian klasik, yang dengannya kita bergantung pada kesamaan atau kedekatan temporal antara unsur-unsur.

Konsep pemikiran magis digunakan dalam psikologi dan antropologi untuk mengambarkan atribusi tidak logis dari kausalitas yang dibuat tanpa bukti empiris, terutama ketika orang itu percaya bahwa pikiran mereka dapat memiliki konsekuensi di dunia luar, baik oleh tindakan mereka sendiri atau oleh intermediasi kekuatan supranatural. Pemikiran magis merupakan sesuatu yang tidak dapat membantu penyelesaian masalah.

Faktor utama yang menyebabkan seseorang berpemikiran magis adalah kegagalan utnuk membentuk rangkaian sebab-akibat yang munasabah dengan faktor pendorongnya yaitu mental illness, serta didukung oleh perilaku menyimpangnya seperti penglibatan diri ke dalam kegiatan perjudian.

Hidup di zaman digital yang kian hari semakin canggih, ironisnya masih banyak juga orang-orang yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Lalu bagaimana dengan individu yang bermasalah dengan pemikiran magis nya yang berlebihan, bisa di bilang “being of luber” maybe,terlalu percaya dengan takhayul atau sering berilusi tentang pengalaman supranturalnya hingga menggangu rasa kenyamanan nya pada situasi sosial?

Sebut saja dengan Mr. X, beliau adalah kepala keluarga dari sebuah keluarga yang mempunyai empat orang anak. Semasa kecilnya, beliau hidup di daerah yang masih kental dengan budaya pemikiran magisnya. Beranjak dewasa beliau melancong ke tanah kelahiran sang istri. Bak pengkodisian klasik yang sudah tertanam sejak kecil, kepercayaan akan hal-hal ghaib masih beliau bawa walau ia sudah tidak berada dalam lingkungannya. Berdiam diri di setiap malam tertentu dengan pemikirannya ia sedang berada dalam forum yang tidak terlihat bersama yang ia ajak berdialog. Percaya bahwa benda mati bisa membantu kehidupannya. Keris, batu-batuan, bunga, beberapa hidangan hingga membakar dupa menjadi kepercayaannya.

Karena kepecayaannya tersebut, ia percaya bahwa dirinya dapat berkomunikasi dengan dunia lain, dunia yang tidak dapat kita jangkau selain dirinya. Ia percaya bahwa dirinya dapat menyembuhkan penyakit medis tanpa bantuan medis tanpa resep herbal hanya dengan bermodal kepercayaannya. Ia percaya ia bisa melihat masa depan, jiwanya bisa berteloprtasi dari satu tempat ke tempat lain tidak dengan raganya. Dan tidak bisa dipungkiri pula masih ada orang percaya datang ke hadapannya untuk meminta bantuan. Walaupun beliau lebih suka menyendiri di lingkungan sosialnya, tetapi jika berhubungan dengan maksud hal yang berbau ekonomis dan ia mendapatkan keuntungan beliau mau mengurusinya. Pemikiran magisnya menguras logisnya hingga menurutnya hal itu biasa dan tidak ada yang salah, yang berarti hal yang dilakukan itu benar dan wajar.

 Lalu dengan sekian ciri-ciri yang telah dipaparkan, apakah beliau termasuk ke dalam gejala gangguan kepribadian kluster A,  gangguan Skizotipal?

Gangguan Skizotipal adalah gangguan kepribadian yang menyebabkan seseorang kesulitan untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain karena merasa sangat tidak nyaman untuk berinteraksi. Selain itu, seseorang dengan gangguan ini memiliki cara berpikir yang abnormal sehingga memiliki perilaku yang cenderung eksentrik. Penyebab dari gangguan ini yaitu hasil interaksi dari faktor keturunan, sosial, dan kejiwaan. Ganguan skizotipal kemugkinan berasal dari sifat yang diwariskan, namun peran sosial seperti pola asuh dan pergaulan sosial semenjak kecil, faktor tempramen serta bagaimana ia menyelesaikan masalah juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan gangguan kepribadian. Sebagaimana yang dialami oleh Mr. X semasa kecilnya yang hidup dan tinggal di lingkungan yang masih kental dengan hal-hal magis.

Adapun gejala dari gangguan kepribadian skizotipal ini secara spesifik adalah 1) memilki kepercayaan kuat terhadap hal magis, gaib, klenik, meskipun bertentangan dengan norma; 2) sering berilusi tentang pengalaman supranatural, atau kejadian yang tidak biasa; 3) memilki ide yang tidak wajar; 4) memilki cara bicara dan peprkataan yang tidak jelas untuk dipahami orang lain; 5) sering menunjukkan emosi yang tidak wajar; 6) sangat merasa tidak nyaman pada situasi sosial; 7) terlalu paranoid akan hal tertentu; 8) memilki penampilan yang tidak biasa; 9) sangat sedikit meiliki teman dekat atau orang kepercayaan selain keluarga dekat; 10) mengalami kecemasan sosial dan rasa paranoid untuk berinteraksi dengan seseorang meskipun sudah lama kenal.

Dalam hal ini Mr. X mempunyai beberapa gejala yang disebutkan diatas, tetapi secara keseluruhan Mr. X kemungkinan tidak mengidap gangguan kepribadian skizotipal yang parah, tetapi hal ini hanya bisa dibuktikan dengan diagnosis yang dilakukan tenaga profesional kejiwaan. Adapun pengobatan skizotipal sendiri dilakukan dengan penanganan komprehensif seperti terapi kejiwaan dan konsumsi obat dibutuhkan untuk membentuk pola pikir dan perilaku baru serta meringankan gejala dari gangguan skizotipal. Namun kemungkinan hal tersebut perlu dilakukan pada waktu yang lama

Kepercayaan akan dunia ghaib memang harus ada, tetapi bukan berarti kita mencampurinya. Bahkan agama islam sendiri pun mengajarinya, rukun iman yang ada itu membuktikan bahwa kita sebagai umat islam percaya akan adanya dunia lain selain dunia kita. Tapi bukan untuk percaya bahwa kita juga memilki kekuatan yang sama dengan dunia lain. Karena kita ya kita yang berada di dunia kita dengan yang menciptakan kita, dunia lain pun dengan dunia nya.

Apa Aku Termasuk _ Gangguan Mood

Rasa, perasaan tidak terlepas dari setiap diri seseorang. Tidak dipungkiri, masa remaja akhir atau memasuki masa dewasa ataupun pendewasan ini selalu dihadirkan dengan banyaknya problem-problem kehidupan. Seperti sayur kurang garam, bak ujian tanpa jawaban, jika tidak adanya problem ini. Dari yang paling booming di masanya yaitu kisah percintaan, berlanjut ke masa pendidikannya, lalu keluarga, setelahnya lingkungan sosial. Tidak mengenal laki-laki maupun perempuan, perasaan atau yang sering disebut dengan Mood ini pasti adanya di setiap jiwa seseorang. Ke-identikannya masih kental dengan sifat perempuan, mahluk astral yang rata-rata lebih tinggi soal perasaan daripada logikanya. Mengapa?

Perasaan (simtom-simtom) + problema = gangguan perasaan. Begitu menurut saya singkatnya menjelaskan apa itu gangguan mood. Namun, secara umum gangguan mood adalah yang mencakup berbagai gangguan emosi yang membuat seseorang tidak berfungsi – mulai dari kesedihan pada depresi dan hingga euforia yang tidak realistis iritabilitas pada mania.  Adapun kriteria dari depresi dalam DSM-IV-TR yaitu (1) mood sedih dan tertekan, hampir setiap hari selama dua minggu atau kehilangan minat dan kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala. (2) sulit tidur (insomnia). (3) perubahan kadar aktivitas, menjadi lemas (retradasi psikomotorik) atau terlalu bersemangat. (4) nafsu makan sangat berkurang dan berat badan turun atau sebaliknya. (5) kehilangan energi (fatik). (5) konsep diri negatif, menuding dan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berarti dan bersalah. (6) mengeluh sulit berkonsenstrasi atau terlihat sulit berkonsentrasi. Dan (7) pikiran tentang kematian atau bunuh diri yang terus menerus timbul.

 Perubahan dari masa ke masa membuat tata bahasa di Indonesia semakin beragam. Kata serapan seolah menjadi kata baku yang beredar di telinga dan ucapan masyarakat. Semenjak ada kata baper kata maaf kini tak sering terucap. Kesalahan seseorang kini menjadi “baper ah lu” bukan “maaf ya”. Kata yang sangat sederhana, tapi dapat membuat persepsi seseorang menjadi berbeda. Perasaan tidak dihargai menjadi salah satu efek nya. Yang berawal hanya dari sekali tetapi karena hampir sudah menjadi sebuah kebiasaan masalh itu tertumpuk, tidak terselesaikan, semacam bom waktu yang siap meledak kapanpun. Semakin lama semakin terpikirkan terbawa oleh lingkungan sosial yang tidak lagi membuatnya nyaman, lalu muncul gejala-gejala yang tidak diinginkan yang akan membuat menjadi sempurnanya gangguan mood.

Secara umum ada beberapa penyebab dari gangguan mood, yaitu, faktor genetik, faktor kimia otak dan stress. Poin terakhir yang sering dialami tanpa sadar ternyata adalah salah satu penyebab dari gangguan mood tersebut. Stress yang berasal dari kehilangan orang yang dicintai, hubungan yang bermasalah, dimarginalkan seseorang dari suatu tempat atau kelompok, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana jika hanya beberapa kriteria yang menjadikan seseorang menjadi murung dengan waktu jangka pendek?

Perasaan bersalah, mengurung diri di kamar, tidak nafsu makan, tidur terlalu lama, merasa kesepian dengan adanya problem hubungan yang bermasalah dengan lingkungan sekitarnya, hanya dalam waktu semalam dan keesokan harinya kembali normal, apakah dikatakan mengidap gangguan mood? Saya rasa tidak. Kekhawatiran yang menganggap diri ini masuk ke dalam kategori depresi, hingga berpikir kapan akan menemui ahli nya. Sehingga, berawal dari sebuah problem yang membuat stres lalu memunculkan gejala-gejala yang mirip dengan yang telah disebutkan diatas. Hanya saja hal ini berjangka waktu pendek sehingga bukan termasuk gangguan mood.

Untuk menyelesaikan kesalahpahaman persepsi tersebut maka ada baiknya mencegah lebih dulu daripada mengobati. Untuk menghindari stres yang dapat menjadi depresi itu dengan melakukan pola hidup sehat, seperti olahraga teratur, makan makanan bergizi, istirahat atau tidur dengan cukup, serta bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Disleksia : Ini Aku Bukan Mereka – Psikologi Abnormal

“Anak” apa yang terngiang ketika di sebutkan kata tersebut? Buah hati yang sangat dicintai oleh orang tua nya. Terlebih ia sudah di nantikan dalam fase yang lama. Lucu, menggemaskan, yang timbul dari wajah polos dan perilakunya membuat kita tersenyum hingga tertawa dari apa yang ia lakukan. Sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur’an Surah Al Kahf ayat 46, yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Dari penggalan ayat tersebut membuktikan bahwa anak adalah harta yang dimilki orang tua. Apapun yang terjadi pada anak, orang tua akan mengerahkan segalanya.

“Jadi anak pintar ya nak”, “kamu harus belajar dengan giat ya, jangan buat mama malu”. Beberapa kalimat tersebut terngiang untuk beberapa anak sebagai sebuah tekanan. Walaupun untuk orang tua tidak menjadi sebuah masalah untuk merogoh kocek yang menjadikan dompetmya menjadi tipis. Memilih sekolah yang favorit, terbaik, hingga sampai anak diterima dengan seleksi yang mudah. Biasanya hal ini lebih di prioritaskan pada penyeleksian kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak, daripada yang belum mempunyai kemampuan tersebut. Padahal di Indonesia telah di tetapkan peraturan pemerintah No 17 tahun 2010 tentang pengelolaaan dan penyelenggaraan pendidikan  disebutkan dalam pasal 67 ayat 5 bahwa penerimaan siswa baru SD kelas 1 atau yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan calistung atau bentuk lisan lain.

Tapi mengapa buku pelajaran SD baik kurikulum lama (2006) dan kurikulum baru (2013) masih sarat dengan bacaan dibandingkan dengan gambarnya? Bagaimana mungkin tidak diperbolehkan untuk calistung tetapi dipaksa dengan saran yang ada (buku)?. Dalam teori psikologi perkembangan kognitif dari Jean Piaget, Anak usia 2 sampai 7 tahun masuk ke tahap Pra-Operasional. Pada tahap ini anak sudah mengenal simbol, penggunaan bahasa sudah lebih cepat berkembang. Maka dari sini dapat disimpulkan seharusnya untuk anak SD di Indonesia harus memilki waktu untuk berkreativitas untuk mengembangkan skillnya lebih banyak daripada calistung.

Maka tertanam akan suatu petuah bahwa anak yang kesulitan dalam calistung maka ia kerap dianggap malas dan bodoh oleh teman-temannya. John Lennon yang merupakan penyanyi dan penulis lagu legendaris yang hingga saat ini menjadi inspirasi bagi musisi seluruh dunia. Pendiri dan pentolan The Beatles ini juga membawa pengaruh pada banyak generasi pecinta musik dan perdamain. Tapi siapa sangka bahwa ia sulit mengingat lirik yang sangat dicintainya. Saat di sekolah secara keseluruhan ia memilki nilai yang rendah karena kesulitan dalam mengeja, bahkan ia dicap sebagai pembuat onar karena mengalami kesulitan berkonsentrasu dan beralih untuk menulis musik. Ternyata ia menderita disleksia, suatu gangguan proses belajar, di mana seseorang mengalami kesulitan, membaca, menulis, atau mengeja. Menurut asosiasi disleksia Indonesia, 10 hingga 15 persen anak sekolah di seluruh dunia menyandang disleksia. Dari 50 juta anak sekolah di Indonesia, 5 juta diantaranya mengidap gangguan itu.

Dikutip dari suatu film Bollywood yang pernah saya tonton, film itu berjudul “Taare Zameen Par” atau “Like Stars On Earth” yang dibintangi oleh Aamir Khan sebagai guru seni di sebuah sekolah dasar. Ishaan seorang anak yang berumur sekitar 8 tahun duduk di sekolah dasar, ia mempunyai kakak yang berbeda dengannya. Kakaknya yang selalu mendapat juara kelas, sedangkan ishaan yang suka asik dengan dunianya sendiri membuat ayahnya suka memarahinya. Ishan tidak mempunyai teman di sekolahnya. Ia menyukai binatang, karena itu setiap ia ditanyakan soal matematika atau disuruh membca oleh gurunya ia akan berkhayal seolah olah semua huruf dan angka tersebut berterbangan dan akan membentuk binatang yang saling berinteraksi.

Setiap pulang sekolah ia suka menyendiri di kamarnya untuk melakukan kegiatan yang ia suka yaitu melukis. Ia menyukai kegiatan melukis, hingga ia menyukai mata pelajaran seni yang menurut teman-temannya guru seni itu membosankan hingga suatu hari guru itu digantikan oleh guru yang lebih menyenangkan (Aamir Khan), namun hal itu tidak untuk Ishaan, ia tertunduk diam diantara teman-temannya yang bersorak-sorai. Dari situ Aamir Khan mencari tau apa penyebab Ishaan menjadi anak yang berbeda dari teman-temannya.

Aamir Khan menemukan keanehan pada tulisan Ishaan, yang besar tidak rapi ada tulisan yang tidak lengkap kalimatnya jadi susunannya berantakan, ada huruf dan angka yang terbalik penulisannya. Akhirnya Aamir Khan memutuskan untuk pergi ke rumah Ishaan, di dalam kamar Ishaan dia menemukan lukisan yang sangat bagus dan terstruktur untuk anak seuisia dia. Dari itu Aamir Khan menjelaskan pada orang tuanya bahwa Ishaan menderita disleksia. Ternyata dari tokoh yang diperankan oleh Aamir khan, adik dari tokoh ini juga pernah menderita hal yang serupa dan itu membuat nya tergugah untuk membantu Ishaan sebagai gurunya.

Dari kutipan cerita ini, secara spesifik apa sebenarnya yang dimaksud dengan disleksia itu?

Disleksia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys-“kesulitan untuk” dan lexis-“huruf” atau “leksikal”. Jadi sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Kejadian ini bisa dideteksi jika anak memasuki bangku sekilah. Disleksia disebabkan gangguan di dalam sesten saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat menimbulkanganggun perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman dan berhitung.

Adapun ciri-ciri yang dapat diketahui saat usia sekolah dasar adalah 1) kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata; 2) kesulitan merangkai huruf-huruf dan kadang ada huruf yang hilang; 3) sulit membedakan huruf, anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk seperti b-d, u-n, m-n, t-p, s-r; 4) sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar; 5) sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya ‘oke’ menjadi ‘eko’. Dan 6) terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Tulisannya tidak stabil, kadang naik, kadang turun, tulisan besar, kecil dan tidak rapi.

Lalu bagaimana melatih anak yang menderita disleksia? Anak yang menderita disleksia membutuhkan kasih sayang yang khusus dan lebih dari orang tuanya. Orang tua harus lebih peka apa yang dialami anaknya. Anak yang menderita disleksia ini tidak dapat diberi tekanan dan dibandingkan oleh orang lain. Ia harus diajarkan pembelajaran dengan penuh kesabaran. Seperti yang dilakukan tokoh yang diperankan oleh Aamir Khan di film “Like Stars On Earth”. Ia menyajikan pembelajaran dengan pola permainan. Ia melukiskan huruf maupun angka melalui lukisan, yaitu kegiatan yang disukai oleh Ishaan.

Setiap anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda. tidak ada yang salah dari sebuah proses perkembangannya, hanya saja kita yang berada disekiling nya kurang peka akan kemampuan dan skillnya. Menjadi peka untuk membantu dalam membangun apa yang dibutuhkan masa depan seseorang akan menjadi hal yang tidak terlupakan. Mari lebih peka dalam menemukan bakat dalam perbedaan aku, kamu dan mereka.